HUKUM
PIDANA
ILMU HUKUM PIDANA
DAN HUKUM PIDANA
A. PENGERTIAN, TUJUAN, DAN OBJEK
HUKUM PIDANA
a.
PENGERTIAN
Pengertian
Hukum adalah kumpulan peraturan yang mengatur tingkahlaku manusia. Tentang mana
yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Bersifat memaksa dan jika dilanggar akan
mendapat sanksi atau hukuman.
·
Sanksi
adalah Reaksi spontan yang muncul dikarenakan orang lain.
Contoh:
ketika seseorang mencuri maka ada sanksi Dikucilkan dari masyarakat
·
Hukuman
adalah reaksi pembalasan harus melalui proses peradilan
Contoh: ketika si A memfitnah si B
dan mempublikasikan ke masyarakat dengan tuduhan yang tidak sesuai, maka si B
dapat dipidanakan dengan pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik.
Ilmu hukum pidana yaitu: bagian dari
ilmu pengetahuan tentang hukum yang
khusus mempelajari tentang hukum.
Berikut
merupakan definisi menurut para ahli:
1.
Algrajanssen, menyatakan bahwa hukum pidana adalah
alat yang dipergunakan oleh seorang
penguasa (hakim)untuk memperingati mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dibenarkan, reaksi dari
penguasa tersebut mencabuat kembali sebagian
dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan dan harta kekayaan, yaitu
seandainya ia telah melakukan suatu tindak pidana.
2.
Pompe, menyatakan bahwa hukum pidana adalah
keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai
perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.
3.
Alpedoorn,
menyatakan bahwa hukum pidana dibedakan dan diberikan arti:Hukum pidana materiil yang menunjuk pada perbuatan pidana
dan yang oleh sebab perbuatan itu dapat dipidana,
dimana perbuatan pidana itu mempunyai dua bagian, yaitu:
a.
Bagian objek
merupakan suatu perbuatan atau sikap yang bertentangan dengan hukum pidana
positif , sehingga bersifat melawan hukum yang menyebabkan tuntutan hukum
dengan ancaman pidana atas pelanggaranya.
b.
Bagian
subjektif merupakan kesalahan yang menunjuk pada prilaku untuk
dipertanggungjawabkan menurut hukum. Hukum pidana formal yang mengatur cara
bagaimna hukum pidana materiil dapat ditegakkan.
Pendapat pakar hukum Indonesia mengenai hukum pidana,
antara lain sebagai berikut:
1. Moelyatno mengatakan bahwa hukum pidana adalah bagian
dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan
dasar-dasar dan aturan untuk:
a. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu
bagi barang siapa melanggara larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka
yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana
sebagaimna yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimna pengenaan pidana itu
dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.
2. Satochid Kartanegara, bahwa hukum pidana dapat dipandang
dari beberapa sudaut, yaitu:
a. Hukum pidana dalam arti objektif, yaitu sejumlah
peraturan yang mengandung larangan larangan
atau keharusan-keharusan terhadap pelanggarannya yang diancam dengan hukuman.
b. Hukum pidana dalam arti subjektif, yaitu sejumlah peraturan
yang mengatur hak Negara untuk
menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang.
3. Soedarto, mengatakan bahwa hukum pidana merupakan
sistem sanksi yang negatif, ia diterapkan, jika
sarana lain sudah tidak memadai, maka hukum pidana dikatakan mempunyai fungsi,
yang subsider. Pidana termasuk juga
tindakan (maatregelen), bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan, suatu yang dirasakan tidak enak
oleh orang lain yang dikenai, oleh karena itu, hakikat
dan tujuan pidana dan pemidanaan, untuk memberikan alasan pembenaran
(justification) pidana itu. Hukum Pidana sebagai Hukum yang mengatur perbuatan perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang
dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa yang melakukannya dan memenuhi
unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam Undang-Undang Pidana. Seperti
perbuatan yang dilarang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang
Korupsi, Undang-Undang HAM dan lain sebagainya.
Jadi, hukum pidana dapat dikakatakan
segala perbuatan apa yang dapat dihukum, mengatur siapa yang dapat dihukum,
hukuman apa yang dapat dijatuhkan dengan keistimewaan melindungi hak orang lain
dan merampas hak orang lain.
b.
TUJUAN
1.
Untuk
menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik
(aliran klasik)
2. Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan
perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan
lingkungan (aliran modern).
Menurut aliran klasik tujuan hukum pidana untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa atau negara. Sebaliknya menurut aliran modern mengajarkan tujuan hukum pidana untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan, dengan demikian hukum pidana harus memeperhatikan kejahatan dan keadaan penjahat, maka aliran ini mendapat pengaruh dari perkembangan kriminologi.
Menurut aliran klasik tujuan hukum pidana untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa atau negara. Sebaliknya menurut aliran modern mengajarkan tujuan hukum pidana untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan, dengan demikian hukum pidana harus memeperhatikan kejahatan dan keadaan penjahat, maka aliran ini mendapat pengaruh dari perkembangan kriminologi.
Vos memandang perlu adanya aliran ketiga, yang merupakan kompromi aliran
klasik dan aliran modern. Dalam rancangan KUHP juli tahun 2006, tujuan
pemidanaan ditentukan dalam pasal 51, yaitu: pemidanaan bertujuan:
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat,
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna,
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat,
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat,
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna,
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat,
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Untuk mencapai tujuan pemidanaan dikenal tiga teori, yaitu:
1.
Teori
pembalasan, diadakannya pidana adalah untuk pembalasan. Teori ini dikenal pada
akhir ke-18 dengan pengikut Immanuel Kant, Hegel, Herbert, dan Stahl. Adapun
masing-masing pemikirannya dalah sebagai berikut:
·
Immanuel
mempunyai jalan pikiran bahwa perbuatan jahat itu akan menimbulkan ketidak
adilan. Oleh karena itu, sang pelakunya pun harus merasakan sebuah ketidak
adilan dengan wujut nestapa (derita).
·
Hegel
mempunyai jalan pikiran bahwa hukum yang tersendikan keadilan merupakan sebuah
kenyataan. Apabila seseorang tersebut melakukan kejahatan, maka dapat
dikategorikan sebagai bentuk penyangkalan dari adanya hukum yang tersendikan
keadilan itu. Dengan pertimbangan ini, akan merupakan suatu yang wajar apabila
sang pelakunya pun harus merasakan (dilengkapkan) dari keadilan tersebutberupa
penjatuhan pidana bagi sang pelakunya tadi.
·
Herbath
mempunyai jalan pikiran bhwa seorang yang melakukan kejahatan, berarti dirinya
akan menyebabkan adanya tidak rasa puas bagi masyarakat umum. Sehingga kepuasan
masyarkat tersebut harus dipulihkan kembali dengan jalan menjatuhkan pidana
kepada pihak (seseorang) yang telah menyebabkan ketidak puasan tadi.
·
Stahl
mempunyai jalan pikiran bahwa tuhan menciptakan negara sebagai wakilnya dalam
menyelenggarakan ketertiban hukum di dunia ini. Konsekuensinya apabila ada
seseorang yang melakukan kejahatan berarti dirinya telah tidak membuat tertib
hukum di dunia ini. Untuk mengembalikan ketertiban tersebut, maka penjahat
harus menerima sanksi pidana karena perbuatannya.
2.
Teori tujuan
atau relatif, jika teori absolut melihat kepada kesalahan yang sudah dilakukan,
sebaliknya teori-teori relatif ataupun tujuan berusaha untuk mencegah kesalahan
pada masa mendatang, dengan perkataan lain pidana merupakan sarana untuk
mencegah kejahatan, oleh karena itu juga sering disebut teori prevensi, yang
dapat kita tinjau dari dua segi, yaitu prevensi umum dan prevensi khusus.
Dengan dijatuhkannya sanksi pidana diharapkan penjahat potensial mengurungkan
niatnya, karena ada perasaan takut akan akibat yang dilihatnya, jadi ditujukan
kepada masyarakat pada umumnya. Sedangkan prevensi khusus ditujukan kepada pelaku
agar ia tidak mengulangi perbuatan jahatnya.
3.
Teori
gabungan, gabungan dari teori di atas.
Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makna pencegahan terhadap gejala-gejala sosial yang kurang sehat di samping pengobatan bagi yang sudah terlanjur tidak berbuat baik. Jadi hukum pidana, ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam meniadakan pelanggaran kepentingan umum, akan tetapi kalau di dalam kehidupan ini masih ada manusia yang melakukan perbuatan yang tidak baik yang kadang-kadang merusak lingkungan hidup manusia lain, sebenarnya sebagai akibat dari moralitas individu.
Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makna pencegahan terhadap gejala-gejala sosial yang kurang sehat di samping pengobatan bagi yang sudah terlanjur tidak berbuat baik. Jadi hukum pidana, ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam meniadakan pelanggaran kepentingan umum, akan tetapi kalau di dalam kehidupan ini masih ada manusia yang melakukan perbuatan yang tidak baik yang kadang-kadang merusak lingkungan hidup manusia lain, sebenarnya sebagai akibat dari moralitas individu.
c.
OBJEK
Objek
ilmu hukum pidana adalah seluruh ketentuan-ketentuan hukum pidana yang berlaku
dinegara Indonesia. Hukum yang berlaku diindonesia adalah hukum positif dan
hukum pidana yang berlaku diindonesia adalah hukum pidana posotif yang ada di
indonesia.
B. PENGERTIAN, SIFAT, DAN TEMPAT
HUKUM PIDANA DALAM HUKUM
a.
PENGERTIAN
HUKUM PIDANA
Hukum Pidana
sebagai Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh
Undang-Undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa yang melakukannya
dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam Undang-Undang Pidana.
Seperti perbuatan yang dilarang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang HAM dan lain sebagainya
b.
SIFAT
HUKUM PIDANA
Salah satu
unsur utama tindak pidana yang bersifat objektif adalah sifat melawan Hukum.
Dalam hukum pidana, istilah "Sifat Melawan Hukum" (SMH) memiliki empat makna:
Dalam hukum pidana, istilah "Sifat Melawan Hukum" (SMH) memiliki empat makna:
1.
Sifat
Melawan Hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan
sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni kelakuan manusia yang termasuk
dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela.
2.
Kata
"melawan hukum" dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian,
sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu
perbuatan.
3.
Sifat
Melawan Hukum formal mengandung arti semua unsur dari rumusan delik telah
dipenuhi.
4.
Sifat
Melawan Hukum material mengandung dua pandangan. Pertama, dari sudut
perbuatannya mengandung arti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang
hendak dilindungi oleh pembuat UU dalam rumusan delik. Kedua, dari sudut sumber
hukumnya, sifat melawan hukum mengandung pertentangan dengan asas kepatutan,
keadilan, dan hukum yang hidup di masyarakat
c.
TEMPAT
HUKUM PIDANA
Masalah pokok dalam hukum pidana
adalah berkenaan dengan 3 (tiga) hal, yaitu: masalah perbuatan pidana, masalah
kesalahan/pertanggungjawaban pidana serta masalah pidana dan pemidanaan. Dalam
kaitan dengan ketiga masalah pokok hukum pidana di atas, ilmu hukum pidana yang
dikembangkan dewasa ini lebih banyak membicarakan masalah-masalah dogmatik
hukum pidana dari pada sanksi pidana. pembahasan tentang sanksi pidana yang
bersifat memperkokoh norma hukum pidana belum banyak dilakukan, sehingga
pembahasan seluruh isi hukum pidana dirasakan masih belum serasi.
Lebih lanjut mengenai hal di atas, J.E. Sahetapy, dalam disertasinya
yang telah diterbitkan menjadi buku, juga pernah menyatakan, bahwa dalam tahun-tahun lima puluhan, permasalahan pidana pada umumnya kurang sekali mendapat perhatian yang sebenarnya justru sangat menarik, mengasyikkan, dan penting sekali. Bidang termaksud tetap merupakan suatu “terra incognita” yang dianggap gersang.
Dalam kaitan ini, Andi Hamzah berpendapat bahwa, pidana dan pemidanaan bukan hanya berkaitan erat dengan hukum pidana, tetapi bahkan menjadi masalah inti hukum pidana.
Namun masalah pidana dan pemidanaan, menurut Bambang Poernomo , dianggap merupakan suatu bidang yang tak banyak diketahui, sehingga pembahasan tentang ilmu hukum pidana yang menyoroti pidana pada umumnya dan pidana penjara pada khususnya kurang mendapat perhatian. Selama ini yang banyak dipersoalkan dalam ilmu hukum pidana terletak di bidang asas-asas hukum pidana yang menyangkut perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, yang pada dasarnya terletak di luar bidang pidana dan sistem pemidanaan.
Dalam tataran sosiologis dan praktek penegakan hukum pidana, untuk istilah pidana juga sering dipakai istilah “hukuman”. Istilah yang akan didiskursuskan ini sebenarnya merupakan terjemahan yang berasal dari istilah Belanda, yaitu straf. KUHP yang merupakan singkatan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, juga merupakan terjemahan dari istilah Belanda, yaitu WvS (Wetboek van Strafrecht). Apabila straf diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “hukuman”, maka terjemahan WvS ke dalam bahasa Indonesia seharusnya bukan KUHP, melainkan adalah KUHH (Kitab Undang-Undang Hukum Hukuman).
Selain dari sudut peristilahan, seperti diuraikan di atas, dari sudut cakupan dari istilah itupun juga terdapat perbedaan. Cakupan stilah hukuman lebih luas dari pada cakupan istilah pidana. Istilah hukuman dapat digunakan dalam banyak bidang, seperti bidang hukum perdata, bidang hukum administrasi, bidang hukum perburuhan dan bahkan juga di bidang pendidikanpun juga sering digunakan istilah hukuman. Sebagai ilustrasi penggunaan istilah hukuman di bidang pindidikan: pada saat seorang guru menyuruh muridnya untuk berdiri di depan kelas karena tak bisa menjawab pertanyaan atau karena tidak mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah); atau dengan cara memukul sang murid dengan lidi, semua itu merupakan hukuman, tidak pernah digunakan istilah pidana. Dengan demikian, hukuman merupakan istilah yang bersifat general, sedangkan pidana merupakan istilah yang spesifik, yaitu khusus di gunakan dalam bidang hukum pidana. Namun demikian, dari sudut praktek penegakan hukum pidana, tidak mempunyai arti yang signifikan untuk diperdebatkan dalam penggunaan antara istilah pidana dan hukuman, akan tetapi dalam tataran dunia akdemis, terutama dalam rangka konsistensi, maka pembedaan i stilah tersebut perlu dan penting untuk diperhatikan.
Secara harfiah, pidana artinya adalah sebuah nestapa atau penderitaan, sedangkan secara yuridis, mengutip pendapat Roeslan Saleh, pidana artinya adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.
Lebih lanjut mengenai hal di atas, J.E. Sahetapy, dalam disertasinya
yang telah diterbitkan menjadi buku, juga pernah menyatakan, bahwa dalam tahun-tahun lima puluhan, permasalahan pidana pada umumnya kurang sekali mendapat perhatian yang sebenarnya justru sangat menarik, mengasyikkan, dan penting sekali. Bidang termaksud tetap merupakan suatu “terra incognita” yang dianggap gersang.
Dalam kaitan ini, Andi Hamzah berpendapat bahwa, pidana dan pemidanaan bukan hanya berkaitan erat dengan hukum pidana, tetapi bahkan menjadi masalah inti hukum pidana.
Namun masalah pidana dan pemidanaan, menurut Bambang Poernomo , dianggap merupakan suatu bidang yang tak banyak diketahui, sehingga pembahasan tentang ilmu hukum pidana yang menyoroti pidana pada umumnya dan pidana penjara pada khususnya kurang mendapat perhatian. Selama ini yang banyak dipersoalkan dalam ilmu hukum pidana terletak di bidang asas-asas hukum pidana yang menyangkut perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, yang pada dasarnya terletak di luar bidang pidana dan sistem pemidanaan.
Dalam tataran sosiologis dan praktek penegakan hukum pidana, untuk istilah pidana juga sering dipakai istilah “hukuman”. Istilah yang akan didiskursuskan ini sebenarnya merupakan terjemahan yang berasal dari istilah Belanda, yaitu straf. KUHP yang merupakan singkatan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, juga merupakan terjemahan dari istilah Belanda, yaitu WvS (Wetboek van Strafrecht). Apabila straf diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “hukuman”, maka terjemahan WvS ke dalam bahasa Indonesia seharusnya bukan KUHP, melainkan adalah KUHH (Kitab Undang-Undang Hukum Hukuman).
Selain dari sudut peristilahan, seperti diuraikan di atas, dari sudut cakupan dari istilah itupun juga terdapat perbedaan. Cakupan stilah hukuman lebih luas dari pada cakupan istilah pidana. Istilah hukuman dapat digunakan dalam banyak bidang, seperti bidang hukum perdata, bidang hukum administrasi, bidang hukum perburuhan dan bahkan juga di bidang pendidikanpun juga sering digunakan istilah hukuman. Sebagai ilustrasi penggunaan istilah hukuman di bidang pindidikan: pada saat seorang guru menyuruh muridnya untuk berdiri di depan kelas karena tak bisa menjawab pertanyaan atau karena tidak mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah); atau dengan cara memukul sang murid dengan lidi, semua itu merupakan hukuman, tidak pernah digunakan istilah pidana. Dengan demikian, hukuman merupakan istilah yang bersifat general, sedangkan pidana merupakan istilah yang spesifik, yaitu khusus di gunakan dalam bidang hukum pidana. Namun demikian, dari sudut praktek penegakan hukum pidana, tidak mempunyai arti yang signifikan untuk diperdebatkan dalam penggunaan antara istilah pidana dan hukuman, akan tetapi dalam tataran dunia akdemis, terutama dalam rangka konsistensi, maka pembedaan i stilah tersebut perlu dan penting untuk diperhatikan.
Secara harfiah, pidana artinya adalah sebuah nestapa atau penderitaan, sedangkan secara yuridis, mengutip pendapat Roeslan Saleh, pidana artinya adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.
C. BEDA HUKUM PIDANA DAN PERDATA
Adapun perbedaan hukum pidana dan
hukum perdata dapat dilihat pada tabel berikut:
PERBEDAAN PENGERTIAN
|
|
HUKUM
PERDATA
|
HUKUM
PIDANA
|
Hukum perdata ialah aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap
orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul
dalam pergaulan masyarakat maupun pergaulan keluarga.
Hukum perdata dibedakan menjadi dua, yaitu hukum perdata material dan
hukum perdata formal. Hukum perdata material mengatur kepentingan-kepentingan
perdata setiap subjek hukum. Hukum perdata formal mengatur bagaimana cara
seseorang mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain.
|
Hukum
pidana adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan
hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara subyek hukum
yang satu dengan subyek hukum yang lain, dengan menitik beratkan pada
kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam
kepentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang
dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya.
Dalam
praktek, hubungan antara subyek hukum yang satu dengan yang lainnya ini,
dilaksanakan dan tunduk karena atau pada suatu kesepakatan atau perjanjian
yang disepakati oleh para subyek hukum dimaksud. Dalam kaitan dengan sanksi
bagi yang melanggar, maka pada umumnya sanksi dalam suatu perikatan adalah
berupa ganti kerugian. Permintaan atau tuntutan ganti kerugian ini wajib
dibuktikan disertai alat bukti yang dalam menunjukkan bahwa benar telah
terjadi kerugian akibat pelanggaran atau tidak dilaksanakannya suatu
kesepakatan.
|
PERBEDAAN
DALAM ISI
|
|
HUKUM
PERDATA
|
HUKUM
PIDANA
|
Hukum
perdata dapat digolongkan antara lain menjadi:
1.
Hukum keluarga
2.
Hukum harta kekayaan
3.
Hukum benda
4.
Hukum Perikatan
5.
Hukum Waris
|
Berdasarkan
isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum privat dan hukum publik
(C.S.T Kansil). Hukum privat adalah hukum yg mengatur hubungan orang
perorang, sedangkan hukum publik adalah hukum yg mengatur hubungan antara
negara dengan warga negaranya.
Hukum
pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua
bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.
Hukum
Pidana Formil yaitu mencakup cara melakukan atau pengenaan pidana.
Hukum
pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak
pidana, dan pidana (sanksi).
|
PERBEDAAN
DALAM SISTIMATIKANYA
|
|
HUKUM
PERDATA
|
HUKUM
PIDANA
|
KUHPerdata terdiri dari 4 bagian
yaitu :
1.
Buku kesatu tentang Orang/ Van Personnenrecht
Buku
pertama mengatur tentang orang sebagai subyek hukum, hukum perkawinan dan
hukum keluarga, termasuk waris.
Bab I- Tentang menikmati dan kehilangan hak-hak kewargaan
Bab II- Tentang akta-akta catatan sipil
Bab III- Tentang tempat tinggal atau domisili
Bab IV- Tentang perkawinan
Bab V- Tentang hak dan kewajiban suami-istri
Bab VI- Tentang harta-bersama menurut undang-undang dan pengurusannya
Bab VII- Tentang perjanjian Perkawinan
Bab VIII- Tentang gabungan harta-bersama atau perjanjian kawin pada
perkawinan kedua atau selanjutnya
Bab IX- Tentang pemisahan harta-benda
Bab X- Tentang pembubaran perkawinan
Bab XI- Tentang pisah meja dan ranjang
Bab XII- Tentang keayahan dan asal keturunan anak-anak
Bab XIII- Tentang kekeluargaan sedarah dan semenda
Bab XIV- Tentang kekuasaan orang tua
Bab XIVA- Tentang penentuan, perubaran dan pencabutan tunjangan nafkah
Bab XV- Tentang kebelumdewasaan dan perwalian
Bab XVI- Tentang pendewasaan
Bab XVII- Tentang pengampuan
Bab XVIII- Tentang keadaan tak hadir
2.
Buku kedua tentang Kebendaan/ Zaakenrecht
Buku kedua
mengatur mengenai benda sebagai obyek hak manusia dan juga mengenai hak kebendaan.
Benda dalam pengertian yang meluas merupakan segala sesuatu yang dapat dihaki
(dimiliki) oleh seseorang. Sedangkan maksud dari hak kebendaan adalah suatu
hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda yang dapat
dipertahankan kepada pihak ketiga.
Bab I- Tentang kebendaan dan cara membeda-bedakannya
Bab II- Tentang kedudukan berkuasa (bezit) dan hak-hak yang timbul karenanya
Bab III- Tentang hak milik (eigendom)
Bab IV- Tentang hak dan kewajiban antara pemilik-pemilik pekarangan yang satu
sama lain bertetanggaan
Bab V- Tentang kerja rodi
Bab VI- Tentang pengabdian pekarangan
Bab VII- Tentang hak numpang karang
Bab VIII- Tentang hak usaha (erfpacht)
Bab IX- Tentang bunga tanah dan hasil sepersepuluh
Bab X- Tentang hak pakai hasil
Bab XI- Tentang hak pakai dan hak mendiami
Bab XII- Tentang perwarisan karena kematian
Bab XIII- Tentang surat wasiat
Bab XIV- Tentang pelaksana wasiat dan pengurus harta peninggalan
Bab XV- Tentang hak memikir dan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran
harta peninggalan
Bab XVI- Tentang hal menerima dan menolak suatu warisan
Bab XVII- Tentang pemisahan harta peninggalan
Bab XVIII- Tentang harta peninggalan yang tak terurus
Bab XIX- Tentang piutang-piutang yang diistimewakan
Bab XX- Tentang gadai
Bab XXI- Tentang hipotik
3.
Buku ketiga tentang Perikatan/ Verbintenessenrecht
Buku
mengatur tentang perikatan (verbintenis). Maksud penggunaan kata “Perikatan”
di sini lebih luas dari pada kata perjanjian. Perikatan ada yang bersumber
dari perjanjian namun ada pula yang bersumber dari suatu perbuatan hukum baik
perbuatan hukum yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) maupun yang timbul
dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan
(zaakwarneming). Buku ketiga tentang perikatan ini mengatur tentang hak dan
kewajiban yang terbit dari perjanjian, perbuatan melanggar hukum dan peristiwa-peristiwa
lain yang menerbitkan hak dan kewajiban perseorangan.
Buku
ketiga bersifat tambahan (aanvulend recht), atau sering juga disebut sifat
terbuka, sehingga terhadap beberapa ketentuan, apabila disepekati secara
bersama oleh para pihak maka mereka dapat mengatur secara berbeda
dibandingkan apa yang diatur didalam BW. Sampai saat ini tidak terdapat suatu
kesepakatan bersama mengenai aturan mana saja yang dapat disimpangi dan
aturan mana yang tidak dapat disimpangi. Namun demikian, secara logis yang dapat
disimpangi adalah aturan-aturan yang mengatur secara khusus (misal :
waktu pengalihan barang dalam jual-beli, eksekusi terlebih dahulu harga
penjamin ketimbang harta si berhutang). Sedangkan aturan umum tidak dapat
disimpangi (misal : syarat sahnya perjanjian, syarat pembatalan
perjanjian).
Bab I- Tentang perikatan- perikatan umumnya
Bab II- Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau
perjanjian
Bab III- Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang
Bab IV- Tentang hapusnya perikatan-perikatan
Bab V- Tentang jual-beli
Bab VI- Tentang tukar-menukar
Bab VII- Tentang sewa-menyewa
Bab VIIA- Tentang perjanjian-perjanjian untuk melakukan pekerjaan
Bab VIII- Tentang persekutuan
Bab IX- Tentang perkumpulan
Bab X- Tentang hibah
Bab XI - Tentang penitipan barang
Bab XII- Tentang pinjam pakai
Bab XIII- Tentang pinjam-meminjam
Bab XIV- Tentang bunga tetap atau bunga abadi
Bab XV- Tentang perjanjian-perjanjian untung-untungan
Bab XVI- Tentang pemberian kuasa
Bab XVII- Tentang penanggungan utang
Bab XVIII - Tentang perdamaian
4.
Buku keempat Tentang pembuktian dan daluwarsa Verjaring en Bewijs
Buku
keempat mengatur tentang pembuktian dan daluwarsa. Hukum tentang pembuktian
tidak saja diatur dalam hukum acara (Herzine Indonesisch Reglement/ HIR)
namun juga diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Didalam buku
keempat ini diatur mengenai prinsip umum tentang pembuktian dan juga mengenai
alat-alat bukti. Dikenal adanya 5 macam alat bukti yaitu :
a. Surat-surat
b. Kesaksian
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah
Daluwarsa
(lewat waktu) berkaitan dengan adanya jangka waktu tertentu yang dapat
mengakibatkan seseorang mendapatkan suatu hak milik (acquisitive verjaring)
atau juga karena lewat waktu menyebabkan seseorang dibebaskan dari suatu
penagihan atau tuntutan hukum (inquisitive verjaring). Selain itu diatur juga
hal-hal mengenai “pelepasan hak” atau “rechtsverwerking” yaitu hilangnya hak
bukan karena lewatnya waktu tetapi karena sikap atau tindakan seseorang yang
menunjukan bahwa ia sudah tidak akan mempergunakan suatu hak.
Bab I- Tentang pembuktian pada umumnya
Bab II- Tentang pembuktian dengan tulisan
Bab III- Tentang pembuktian dengan saksi-saksi
Bab IV- Tentang persangkaan-persangkaan
Bab V- Tentang pengakuan
Bab VI- Tentang sumpah di muka hakim
Bab VII- Tentang daluwarsa
|
KUHPidana
terdiri dari 3 bagian, yaitu:
1.
Buku kesatu tentang aturan umum
Yaitu
berlaku untuk seluruh hokum pidana. Ketentuan dalam buku kesatu juga berlaku
bagi peraturan-peraturan yang oleh peraturan dan perundangan lain diancam
dengan pidana kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang.
Dalam buku
kesatu menganut asas legalitas/ principle of legalitas. Yaitu “Nullum
Delictum Nulla Poena Sine Praeve Legc”, artinya tidak ada delik, tidak ada
pidana tanpa peraturan terlebih dahulu.
dalam asas
tersebut terkandung maksud:
a.
Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu
terlebih daahulu belum dinyatakan dalam suatu peraturan perundang-undangan
b.
Aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Untuk
memidana seseorang dikenal dengan asas “Tidak dipidana jika tidak ada
kesalahan”.
Bab I- Tentang batas-batas berlakunya aturan pidana dalam perundang-undangan
Bab II- Tentang pidana
Bab III- Tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangi atau memberatkan
pidana
Bab IV- Tentang percobaan
Bab V Tentang penyertaan dalam tindak pidana
Bab VI- Tentang perbarengan tindak pidana
Bab VII- mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal
kejahatan-kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan
Bab VIII- Tentang hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana
Bab IX- Tentang arti beberapa istilah yang dipakai dalam kitab undang-undang
2.
Buku kedua tentang kejahatan
Berlaku
untuk semua jenis kejahatan. Misalnya: pencurian, penipuan dan lain-lain.
Bab I- Tentang kejahatan terhadap keamanan negara
Bab II- Tentang kejahatan-kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil
presiden
Bab III- Tentang kejahatan-kejahatan terhadap Negara sahabat dan
terhadap kepada Negara sahabat serta wakilnya
Bab IV- Tentang kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan
Bab V- Tentang kejahatan terhadap ketertiban umum
Bab VI- Tentang perkelahian tanding
Bab VII- Tentang kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau
barang
Bab VIII- Tentang kejahatan terhadap penguasa umum
Bab IX- Tentang sumpah palsu dan keterangan palsu
Bab X- Tentang pemalsuan mata uang dan uang kertas
Bab XI- Tentang pemalsuan materai dan merek
Bab XII- Tentang pemalsuan surat
Bab XIII- Tentang kejahatan terhadap asal usul dan perkawinan
Bab XIV- Tentang kejahtan terhadap kesusilaan
Bab XV- Tentang meninggalkan orang yang perlu ditolong
Bab XVI- Tentang penghinaan
Bab XVII- Tentang Pemalsuan surat
Bab XVIII- Tentang kejahatan terhadap kemerdekaan orang
Bab XIX- Tentang kejahatan terhadap nyawa
Bab XX- Tentang Penganiayaan
Bab XXI- Tentang menyebabkan mati atau luka-luka karena kealpaan
Bab XXII- Tentang pencurian
Bab XXIII- Tentang pemerasan dan pengancaman
Bab XXIV- Tentang penggelapan
Bab XXV- Tentang perbuatan curang
Bab XXVI- Tentang perbuatan merugikan pemiutang atau orang yang mempunyai hak
Bab XXVII- tentang menghancurkan atau merusakkan barang
Bab XXVIII- Tentang kejahatan jabatan
Bab XXIX- Tentang kejahatan pelayaran
Bab XXXA- Tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/
prasarana penerbangan
Bab XXX- Tentang penadahan penerbitan dan percetakan
Bab XXXI- Tentang aturan tentang pengulangan kejahatan yang bersangkutan
dengan berbagai bab
3.
Buku ketiga tentang pelanggaran.
Yaitu
pelanggaran terhadap ketertiban umum. Misalnya: pengemisan, penggelandangan,
dan lain-lain.
Bab I- Tentang pelanggaran keamanan umum bagi orang atau barang dan kesehatan
Bab II- Tentang pelanggaran ketertiban umum
Bab III- Tentang pelanggaran terhadap penguasa umum
Bab IV- Tentang pelanggaran mengenai asal usul dan perkawinan
Bab V- Tentang pelanggaran terhadap orang yang memerlukan pertolongan
Bab VI- Tentang pelanggaran kesusilaan
Bab VII- Tentang pelanggaran mengenai tanah, tanaman dan pekarangan
Bab VIII- Tentang pelanggaran jabatan
Bab IX- Tentang pelanggaran pelayanan
|
PERBEDAAN
DALAM DASAR BERLAKUNYA HUKUM DI INDONESIA
|
|
HUKUM
PERDATA
|
HUKUM
PIDANA
|
Yang
menjadi dasar berlakunya BW di Indonesia adalah pasal 1 aturan peralihan UUD
1945 , yang berbunyi :
“segala peraturan
perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakannya
aturan yang baru menurut undang-undang dasar ini.”
|
Asas berlakunya hukum pidana
adalah asas legalitas pasal 1(1) KUHPidana
Yaitu yang berbunyi:
1.
Sesuatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan
ketentungan perundang-undangan pidana yang telah ada
2.
Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan,
maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya
|
PERBEDAAN DALAM MENGATUR
|
|
HUKUM PERDATA
|
HUKUM PIDANA
|
Hukum
Perdata mengatur hubungan hukum antara orang satu dengan orang lain
dengan menitikberatkan pada kepentingan perorangan.
Misal: A
merupakan anggota kelompok simpan pinjam “MAWAR BERSEMI”. Pada waktu meminjam
dana pada “MAWAR BERSEMI” si A terikat kontrak dengan program “MAWAR
BERSEMI”. Hubungan hukum antara A dan “MAWAR BERSEMI” dikenai aturan hukum
perdata. Bila dikemudian hari A tidak mau mengembalikan uang yang
dipinjamnya, tindakan ini akan dikenai aturan hukum perdata
|
hukum
pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antara seorang anggota masyarakat
(sebagi warga Negara) dengan Negara (sebagai penguasa tata tertib
masyarakat).
Misal:
Ketua kelompok UEP “MELATI PUTIH” Tidak menyerahkan setoran anggota
kelompoknya kepada UEP “MELATI PUTIH”, tetapi digunakan untuk kepentingan
pribadi. Maka perbuatan tersebut termasuk tindak pidana, yaitu masuk dalam
klausul delik pidana penggelapan
|
PERBEDAAN DALAM PENERAPAN
|
|
HUKUM PERDATA
|
HUKUM PIDANA
|
Pelanggaran
terhadap aturan hukum perdata baru dapat diambil tindakan oleh pengadilan
setelah ada pengaduan oleh pihak berkepentingan yang merasa dirugikan
(disebut: penggugat)
Pelanggaran terhadap hukum perdata diambil diambil tindakan oleh
pengadilan setelah adanya pengaduan dari pihak ynag merasa dirugikan. Pihak
yang mengadu tersebut menjadi penggugat dalam perkara tersebut.
|
Pelanggaran
terhadap aturan hukum pidana segera diambil tindakan oleh aparat hukum tanpa
ada pengaduan dari pihak yang dirugikan, kecuali tindak pidana yang termasuk
dalam delik aduan seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, pencurian
oleh keluarga, dll.
Pelanggaran terhadap hukum pidana pada umumnya segera diambil tindakan
oleh pengadilan tanpa perlu ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Setelah
ada pelanggaran terhadap norma hukum pidana, maka alat-alat perlengkapan
negara seperti polisi, jaksa dan hakim segera bertindak.
1.
Pihak yang
menjadi korban cukuplah melaporkan kepada pihak yang berwajib (polisi) tentang
tindak pidana yang terjadi. Dan yang menjadi penggugat adalah Jaksa (Penuntut
Umum)
2. Terhadap beberapa tindak pidana tertentu
tidak akan diamabil tindakan oleh pihak yang berwajib jika tidak diajukan
pengaduan, misalnya perzinahan,pencurian, perkosaan dsb.
|
PERBEDAAN
PENAFSIRAN
|
|
HUKUM
PERDATA
|
HUKUM
PIDANA
|
Hukum perdata memperbolehkan untuk melakukan berbagai interpretasi
terhadap Undang-Undang Hukum Perdata.
|
Hukum pidana hanya boleh ditafsirkan menurut arti kata dalam
Undang-Undang Hukum Pidana itu sendiri. (penafsiran authentuik)
|
D. JENIS-JENIS HUKUM PIDANA
Adapun jenis-jenis hukum pidana dapat dibagi menjadi:
a. Hukum Pidana Materiil
Hukum pidana materiil adalah hukum pidana yang memuat :
·
Aturan-aturan yang menetapkan dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat
dipidana
·
Aturan-aturan yang memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana Ketentuan mengenai pidana. Contohnya : KUHP
b. Hukum Pidana Formil
Hukum pidan
formil adalah hukum pidana yang mengatur kewenangan negara (melalui aparat penegak
hukum) melaksanakan haknya untuk menjatuhkan pidana. Contohnya : KUHAP
c. Hukum pidana umum dan khusus
1. Hukum pidana umum (algemene strafrecht)
memuat aturan-aturan hukum pidana yang berlaku bagi setiap orang dan tidak membeda-bedakan kualitas pribadi subjek
hukum tertentu. Setiap warga negara harus tunduk dan patuh terhadap hukum
pidana umum.( KUHP, UULLAJ)
2. Hukum pidana khusus (bijzonder strafrecht)
memuat aturan-aturan hukum pidana umum yang menyangkut :
·
-Golongan-golongan tertentu
·
Berkaitan dengan jenis-jenis perbutan tertentu (Hukum Pidana Ekonomi)
3. Hukum pidana yang dikodifikasi
(KUHP dan KUHPT) dan yang tidak dikodifikasi (tersebar di luar KUHP)
Hukum pidana
yang dikodifikasikan (codificatie,
belanda) adalah hukum pidana tersebut telah disusun secara
sistematis dan lengkap dalam kitab undang-undang, misalnya Kitab undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP dan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM).
Sedangkan
yang termasuk dalam hukum pidana tidak terkodifikasi adalah peraturan-peraturan
pidana yang terdapat di dalam undang-undang atau peraturan-peraturan yang
bersifat khusus (van HATTUM)
4. Hukum pidana tertulis dan tidak tertulis (hukum adat)
Hukum pidana tertulis adalah hukum pidana
undang-undang, yang bersumber dari hukum yang terkodifikasi yaitu Kitab
Undang-udang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) dan bersumber dari hukum yang diluar kodifikasi yang tersebar dipelbagai
peraturan perundang-undangan.
Hukum pidana yang berlaku dan dijalankan oleh negara adalah hukum tertulis saja, karena dalam hal berlakunya hukum pidana tunduk pada asas legalitas sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 (1) KUHP berbunyi “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”.
Sementara itu hukum pidana tidak tertulis tidak dapat dijalankan. Namun demikian ada satu dasar hukum yang dapat memberi kemungkinan untuk memberlakukan hukum pidana adat (tidak tertulis) dalam arti yang sangat terbatas berdasarkan Pasal 5 (3b) UU No. 1/Drt/1951.
Hukum pidana yang berlaku dan dijalankan oleh negara adalah hukum tertulis saja, karena dalam hal berlakunya hukum pidana tunduk pada asas legalitas sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 (1) KUHP berbunyi “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”.
Sementara itu hukum pidana tidak tertulis tidak dapat dijalankan. Namun demikian ada satu dasar hukum yang dapat memberi kemungkinan untuk memberlakukan hukum pidana adat (tidak tertulis) dalam arti yang sangat terbatas berdasarkan Pasal 5 (3b) UU No. 1/Drt/1951.
5. Hukum pidana nasional dan hukum
pidana internacional
Hukum pidana merupakan hukum publik larena mengatur hubungan antar negara
dan warga negara dalam rangka menciptakan keamanan, ketertiban masyarakat oleh karena
itu negara berwajiban melindungi kepentingan dan kemanan (harta benda dan
nyawa) negara dan masyarakat.
E. SEJARAH DAN SISTEMATIKA KUHP
a.
SEJARAH
Induk
peraturan hukum pidana positif Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP). KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali
dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 dan
mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari
WvS negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara
Belanda pada tahun 1886. Walaupun WvSNI notabene turunan (copy) dari WvS Belanda,
namun pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi
(penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal
dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas
wilayah Indonesia.
Jika
diruntut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda membuat
perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809.
Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel
Wetboek voor Het Koninkrijk Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada
tahun 1811 Perancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi
hukum pidana) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa
Perancis. Pada tahun 1813, Perancis meninggalkan negara Belanda. Namun demikian
negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886.
Pada tahun 1886 mulai diberlakukan Wetboek van Strafrecht sebagai
pengganti Code Penal Napoleon.
Setelah
Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945, untuk mengisi kekosongan
hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia maka dengan dasar Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945, WvSNI tetap diberlakukan. Pemberlakukan WvSNI menjadi hukum
pidana Indonesia ini menggunakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana Indonesia. Dalam Pasal VI Undang-undang Nomor 1 Tahun
1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie diubah
menjadi Wetboek van Strafrecht dan “dapat disebut Kitab Undang-undang
Hukum Pidana”.
Di
samping itu, undang-undang ini juga tidak memberlakukan kembali
peraturanperaturan pidana yang dikeluarkan sejak tanggal 8 Maret 1942, baik
yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang maupun oleh panglima tertinggi
Balatentara Hindia Belanda.
Oleh karena perjuangan bangsa Indonesia
belum selesai pada tahun 1946 dan munculnya dualisme KUHP setelah tahun
tersebut maka pada tahun 1958 dikeluarkan Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958
yang memberlakukan Undangundang Nomor 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah
Republik Indonesia.
b.
SISTEMATIKA
Sistematik KUHP ( WS ) terdiri dari 3 buku dan 559
pasal. Perinciannya adalah sebagai berikut :
1.
Buku
kesatu tentang aturan umum yang terdiri dari 9 bab 103 pasal (pasal 1-103).
2.
Buku
kedua tentang kejahatan yang terjadi dari 31 bab 385 pasal ( pasal 104 - 488) .
3.
Buku
ke tiga tentangpelanggaran yang terdiri dari 9 bab 81 pasal ( pasal 489 – 569 )
.
Aturan
yang disebut dalam buku aturan pertama bab I sampai Bab VIII berlaku bagi buku
kedua ( kejahatan ). Buku ketiga (pelanggaran ). Dan aturan hokum pidana di
luar KUHP kecuali aturan di luar KUHP tersebut menemukan lain (lihat pasal 103
KUHP )
TINDAK PIDANA
A.
PENGERTIAN
TINDAK PIDANA
Istilah
tindak pidana sebagai terjemah strafbaar feit adalah diperkenalkan oleh pihak
pemerintah cq Departemen kehakiman. Istilah ini banyak dipergunakan dalam
undang-undang tindak pidana khusus, misalnya: undang-undang tindak pidana
korupsi, undang-undang tindak pidana narkotika, dan undang-undang mengenai
pornografi yang mengatur secara khusus tindak pidana pornografi.
Para ahli hukum mendefinisikan tindak pidana sebagai
berikut:
·
Moeljatno berpendapat
bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan
pidana adalah Perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
·
Sehubungan
dengan hal pengertian tindak pidana ini Bambang Poernomo berpendapat bahwa perumusan mengenai
perbuatan pidana akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut Bahwa perbuatan pidana adalah suatu
perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan
pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
B.
UNSUR-UNSUR
TINDAK PIDANA
Setelah mengetahui definisi dan pengertian tindak
pidana, maka didalam tindak pidana tersebut terdapat unsure-unsur tindak pidana
yaitu:
a. Unsur
objektif
Unsur yang terdapat diluar sipelaku. Unsur-unsur yang
ada hubungannya dengan keadaan di mana tindakantindakan sipelaku itu harus
dilakukan. Terdiri dari:
1. Sifat
melanggar hukum.
2. Kualitas
dari si pelaku.
Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri didalam
kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau
komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut pasal 398
KUHP.
3. Kausalitas.
Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab
dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
b. Unsur
subjektif
unsur yang terdapat atau melekat pada diri sipelaku,
atau yang dihubungkan dengan diri sipelaku dan termasuk di dalamnya segala
sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur itu terdiri dari:
1. Kesengajaan
atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa)
2. Maksud
dari suatu percobaan, seperti ditentukan dalam pasal 53 ayat (1) KUHP.
3. Macam-macam
maksud seperti terdapat dalam kejahtan-kejahatan pencurian, penipuan,
pemerasan, dan sebagainya.
4. Merencanakan
terlebih dahulu.
5. Perasaan
takut.
C.
MACAM-MACAM
TINDAK PIDANA
Berikut merupakan pembagian jenis tindak pidana:
1.
Kejahatan dan Pelanggaran
Pembagian delik atas kejahatan dan pelanggaran ini disebut oleh
undang-undang. KUHP buku ke II memuat delik-delik yang disebut : pelanggaran
criterium apakah yang dipergunakan untuk membedakan kedua jenis delik itu ?
KUHP tidak memberi jawaban tentang hal ini. Ia hanya membrisir atau memasukkan
dalam kelompok pertama kejahatan dan dalam kelompok kedua pelanggaran.
Tetapi ilmu pengetahuan mencari secara intensif ukuran (kriterium) untuk
membedakan kedua jenis delik itu.
Ada dua pendapat :
a.
Ada yang mengatakan
bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwalitatif.
Dengan ukuran ini lalu didapati 2 jenis delik, ialah :
1.
Rechtdelicten Ialah
yang perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu
diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar
dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan misal :
pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut “kejahatan” (mala
perse).
2.
Wetsdelicten Ialah
perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak pidana karena
undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang
mengancamnya dengan pidana. Misal : memarkir mobil di sebelah kanan jalan (mala
quia prohibita). Delik-delik semacam ini disebut “pelanggaran”. Perbedaan
secara kwalitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan yang baru
disadari sebagai delik karena tercantum dalam undang-undang pidana, jadi
sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan.
Dan sebaliknya ada “pelanggaran”, yang benar-benar dirasakan bertentangan
dengan rasa keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan
maka dicari ukuran lain.
b.
Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik
itu ada perbedaan yang bersifat kwantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan
kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah
“pelanggaran” itu lebih ringan dari pada “kejahatan”. Mengenai pembagian delik
dalam kejahatan dan pelanggaran itu terdapat suara-suara yang menentang.
Seminar Hukum Nasional 1963 tersebut di atas juga berpendapat, bahwa
penggolongan-penggolongan dalam dua macam delik itu harus ditiadakan.
Kejahatan ringan : Dalam KUHP juga terdapat delik yang digolongkan
sebagai kejahatan-kejahatan misalnya pasal 364, 373, 375, 379, 382, 384, 352,
302 (1), 315, 407.
2.
Delik formil dan delik materiil (delik dengan
perumusan secara formil dan delik dengan perumusan secara materiil)
·
Delik
formil itu adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang
dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti
tercantum dalam rumusan delik. Misal : penghasutan (pasal 160
KUHP), di muka umum menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan
kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia (pasal 156 KUHP);
penyuapan
(pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu (pasal 242
KUHP); pemalsuan surat (pasal 263 KUHP); pencurian (pasal 362 KUHP).
·
Delik
materiil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang
tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang
tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya ada
percobaan. Misal : pembakaran (pasal 187 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP),
pembunuhan (pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil dan materiil tidak tajam
misalnya pasal 362.
3. Delik commisionis, delik ommisionis dan delik
commisionis per ommisionen commissa
·
Delik
commisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat
sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan.
·
Delik
ommisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak
melakukan sesuatu yang diperintahkan / yang diharuskan, misal : tidak menghadap
sebagai saksi di muka pengadilan (pasal 522 KUHP), tidak menolong orang yang
memerlukan pertolongan (pasal 531 KUHP).
·
Delik
commisionis per ommisionen commissa : delik yang berupa pelanggaan larangan
(dus delik commissionis), akan tetapi dapa dilakukan dengan cara tidak berbuat.
Misal : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (pasal
338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api
dengan sengaja tidak memindahkan wissel (pasal 194 KUHP).
4. Delik dolus dan delik
culpa (doleuse en culpose delicten)
·
Delik
dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197, 245,
263, 310, 338 KUHP
·
Delik
culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur misal : pasal 195,
197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal 359, 360 KUHP.
5. Delik tunggal dan delik berangkai
(enkelvoudige en samenge-stelde delicten)
·
Delik
tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali.
·
Delik
berangkai : delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali
perbuatan, misal : pasal 481 (penadahan sebagai kebiasaan)
6.
Delik yang berlangsung terus dan delik
selesai (voordurende en aflopende delicten)
Delik yang berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan
terlarang itu berlangsung terus, misal : merampas kemerdekaan seseorang (pasal
333 KUHP).
7.
Delik aduan dan delik laporan (klachtdelicten en
niet klacht delicten)
Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada
pengaduan dari pihak yang terkena (gelaedeerde partij) misal : penghinaan
(pasal 310 dst. jo 319 KUHP) perzinahan (pasal 284 KUHP), chantage (pemerasan
dengan ancaman pencemaran, ps. 335 ayat 1 sub 2 KUHP jo. ayat 2). Delik aduan
dibedakan menurut sifatnya, sebagai :
·
Delik
aduan yang absolut, ialah mis. : pasal 284, 310, 332. Delik-delik ini menurut
sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan.
·
Delik
aduan yang relative ialah mis. : pasal 367, disebut relatif karena dalam
delik-delik ini ada hubungan istimewa antara si pembuat dan orang yang terkena.
·
Catatan : perlu dibedakan antara aduan den gugatan
dan laporan. Gugatan dipakai dalam acara perdata, misal : A menggugat B di muka
pengadilan, karena B tidak membayar hutangnya kepada A. Laporan hanya
pemberitahuan belaka tentang adanya sesuatu tindak pidana kepada Polisi atau
Jaksa.
8.
Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya /
peringannya (eenvoudige dan gequalificeerde / geprevisilierde delicten)
Delik yang ada pemberatannya, misal : penganiayaan yang menyebabkan luka
berat atau matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam
hari dsb. (pasal 363). Ada delik yang ancaman pidananya diperingan karena
dilakukan dalam keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanak-kanak (pasal 341
KUHP). Delik ini disebut “geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal :
penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP).
9.
Delik ekonomi (biasanya disebut tindak pidana
ekonomi) dan bukan delik ekonomi
Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam pasal 1 UU
Darurat No. 7 tahun 1955, UU darurat tentang tindak pidana ekonomi.
HUKUM PIDANA
TUGAS
OLEH:
ERIK FAHRON SETIADI
1306078
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2014
0 Response to "PENGERTIAN, TUJUAN, DAN OBJEK HUKUM PIDANA"
Post a Comment